Bermula
dari pertemuan yang aneh, aku mulai mengenal Yusuf. Aku mengenalnya saat acara MOS
di sekolah, hari pertama masuk SMA. Pada akhirnya aku tidak tahu kalau aku akan
jatuh cinta padanya.
***
“Nikya?”
Aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi saking bersemangatnya. Hari ini hari
pertamaku masuk SMA, rasanya benar-benar mendebarkan! Aku tak sabar untuk
belajar, bertemu orang-orang baru, dan mengalami kisah-kisah baru. Apalagi masa
SMA terkenal dengan masa-masanya untuk mencari cinta. Ah! Aku benar-benar
bersemangat!
Kakak kelas yang menjadi instruktur lokal kini sedang mengabsen kami para
murid-murid baru. Semuanya normal sampai nama terakhir di sebutkan.
“Yusuf?”
Tidak ada yang mengangkat tangan. Kakak kelas kami memanggilnya sekali lagi
untuk memastikan , namun tidak ada jawaban. Ia bertanya apakah ada yang tahu
Yusuf, semuanya menggeleng.
“Baiklah, ada yang namanya belum disebut?” ujar Kakak kelas kami pada akhirnya.
Seorang cowok dengan rambut berantakan yang duduk di bangku paling belakang
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kami semua menoleh.
“Siapa namamu?” Tanya si kakak kelas.
“Saya?” jawabnya seperti menantang kemudian mejawab dengan polos, “Saya
anggota Super Junior.”
Sekelas
tertawa mendengar jawabannya. Aku pun tak urung tersenyum aneh melihatnya.
‘Jangan sampai masa SMA-ku dihabiskan untuk menyukai cowok seperti dia.’
Batinku dalam hati saat itu.
***
10
IPA 1
Masa MOS kami sudah berakhir. Dan kami sudah mendapatkan kelas, aku masuk
kelas 10 IPA 1. Hari ini, di hari pembagian kelas, dengan sialnya aku harus
datang terlambat. Karena menonton film sampai larut tadi malam aku bangun
kesiangan.
Aku
memasuki kelas dengan canggung. Tak banyak yang aku kenal disini dan
semua bangku sudah hampir penuh. Mataku tertuju pada dua buah kursi kosong di
pojok belakang. Sebelum aku sempat memilih lagi, seorang guru –nampaknya wali
kelas baru kami- datang memasuki kelas. Aku pun berjalan cepat menuju kursi
kosong itu. Lagipula tak ada yang duduk disana. Saat aku baru saja meletakkan
tasku, seseorang sudah berdiri di samping bangku kosong yang kutempati. Itu
Yusuf. Aku masih mengenalnya walaupun setelah perkenalan konyolnya saat MOS dia
tak pernah masuk lagi.
Aku
tersenyum kikuk padanya namun dia hanya memperlihatkan wajah datar. Sekarang
aku mengencarkan mataku, mencari-cari siapa tahu ada kursi kosong lainnya. Dan
aku tak pernah menemukan kursi kosong itu.
***
Sudah
tiga minggu sejak kami masuk SMA. Dan kau tahu apa? Aku dan teman sebangkuku
belum pernah sama sekali bicara satu sama lain. Satu-satunya hal yang pernah ia
katakan padaku adalah: “Hei, penghapusmu jatuh.” Dan setelah itu, ia tak pernah
lagi bicara padaku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ia membenciku? Ataukah dia
itu teman masa laluku yang pernah aku kerjai sehingga ia dendam sampai
sekarang? Atau yang terburuk, apakah ia psikopat? Aku tak pernah tahu.
Suatu
hari, di pagi yang mendung, aku berangkat seperti biasa. Namun sebelum
berangkat tadi, adikku memberi aku sesuatu. Mainan robot yang tak tahu apa
namanya. Katanya ini hadiah ulang tahunku dua bulan lalu. Aku berterima kasih
walaupun sama sekali tak mengerti apa ini. Well, dia masih
kelas 2 SD. Aku menggenggam benda itu sampai ke sekolah karena malas
memasukkannya ke dalam tas. Saat aku baru duduk di kursiku, Yusuf tiba-tiba
menjerit.
“APA
ITU?!”
Aku
yang kaget setengah mati menjawab dengan tergagap.
“A..aku
tak tahu. Adikku yang memberi ini.”
“Itu
gundam Super Deformed! Ah, aku ingin sekali gundam ini. Kau beruntung.”
“Eh?”
Aku benar-benar bingung sekarang. “Kau mau ini, Yusuf?” tanyaku hati-hati.
“Eh?”
Dia yang Nampak bingung sekarang, kukira ia sangat ingin benda ini sehingga dia
jadi bingung. Namun jawaban yang kudapat lebih aneh lagi.
“Kau
tahu namaku?” ujarnya polos, kepalanya dimiringkan, membuatnya tampak sedikit
imut.
“Tentu
saja.” Jawabku seadanya, atau lebih tepatnya tak tahu lagi harus menjawab apa.
Aku mulai curiga jangan-jangan ia tak tahu namaku.
“Wah,
kalau begitu aku harus tahu namamu.” Ujarnya. Aku menepuk jidatku.
“Nikya,”
Jawabku ogah-ogahan. Ya ampun, selama tiga minggu ini apa saja sih yang dia
lakukan?! “Panggil saja Niki.” Tambahku.
“Oh.
Niki. Baiklah.” Jawabnya. “Tapi aku lebih senang memanggilmu Super Defor.”
Aku
mengeryit. “Apa itu?”
“Dari
nama gundam-mu. Super Deformed. Gundam yang lain biasanya berukuran lebih
besar, Super Deformed adalah ukuran yang paling kecil. Nah, kau bertubuh
kecil.”
Baiklah,
aku tak pernah mendapat kata-kata yang tak sesopan ini dari seseorang yang baru
kukenal selain dari Yusuf. Dia memang jauh lebih tinggi dariku, tapi ia tak
pantas berkata seperti itu pada orang yang bahkan tidak dia kenal walaupun
sudah bersama selama tiga minggu kan?
“Kau
keberatan?” tanyanya tanpa dosa seolah ini tidak membuatku kesal.
“Aku
lebih suka dipanggil Niki,” Jawabku terus terang. “Tapi kalau itu yang kau mau,
aku tak apa.”
Dia
menjerit senang. Teman-teman sekelasku mulai memperhatikan kami, aku berusaha
mengabaikannya.
“Baiklah
Super Defor, aku ingin cerita sedikit.” Ujar Yusuf tiba-tiba.
“Apa?”
jawabku. Dan tanpa disangka-sangka ia bercerita tentang kebingungannya selama
berada di kelas ini.b
“Aku
tak pandai bergaul, bisakah kau bantu aku agar mendapatkan teman?” ujarnya
murung.
Kemudian
Yusuf bercerita, ia adalah anak bungsu di keluarganya. Ia memiliki dua kakak
cowok yang selalu mengabaikannya. Karena merasa terabaikan, ia mulai fokus
sendirian, kemudian mulai mengoleksi mainan Gundam dan akhirnya menjadi
introvert. Ia sempat berteman baik dengan seorang cowok bernama Raka saat SMP
yang juga menyukai Gundam, namun kali ini mereka beda sekolah, hal itu
membuatnya bingung setengah mati katanya. Aku tersenyum mendengar ceritanya,
konyol sekali.
Akhirnya
setelah tiba-tiba ‘curcol’ seperti itu, aku memutuskan untuk mengajaknya
hang-out bersama teman-teman sekelas. Ia tampak senang sekaligus gugup.
Akhirnya kami pergi bersama dan kau tahu apa? Ternyata ia tidak se-‘aneh’ itu
dalam bergaul. Ia banyak diam, tapi tetap menjawab jika ditanya. Hingga
akhirnya kulihat ia menemukan penyuka Gundam di kelas kami, namanya Dika.
Mereka mengobrol asik sekali. Aku ikut senang. Dan tanpa disangka-sangka
batinku tiba-tiba mengatakan hal yang aneh.
‘Yusuf
ternyata manis kalau tersenyum.’
***
11
IPA 1
Hai,
Niki disini. Aku sudah memulai tahun keduaku di SMA. Dan kali ini, aku sudah
tidak sebangku dengan Yusuf. Setelah menemukan soulmatenya,
Yusuf memutuskan untuk duduk bersama Dika. Aku agak kehilangan karena
belakangan kami sudah sangat dekat. Bahkan kupikir, aku mulai menyukainya.
Oh,
tuhan. Diriku setahun lalu pasti sudah mengutukku jika tahu pada akhirnya aku
jatuh cinta pada Yusuf si anggota Super Junior. Tapi sungguh, mana aku tahu
jika jadinya begini? Lagipula setelah setahun ia mulai menjadi cowok yang
normal (walaupun sifat anehnya kumat sewaktu-waktu). Dan perlu kalian tahu
juga, sebernya Yusuf itu tampan. Ia memiliki tubuh jangkung dan senyum yang
imut (sayangnya ia jarang tersenyum). Namun semua itu terhalang oleh rambutnya
yang super berantakan dan dekil juga sifatnya yang cuek akan penampilan (Ia
pernah datang kesekolah dengan sebelah celananya tergulung sampai lutut dan
cuma berkata: ‘ah, aku lupa. Toh orang-orang dijalan juga tak akan peduli.’)
benar-benar deh!
Dan
kalian perlu tahu juga, Yusuf ini cerdas, tapi sayang dia malas. Pengetahuan
umumnya luas, dia juga diam-diam pintar berpendapat dan bicara, tapi
keluguannya membuatnya terlihat bodoh. Yusuf juga sangat baik, ia akan
mendengarkan ceritaku yang super panjang dengan senang hati, bahkan tak pernah
tampak terlihat bosan, kemudian ia akan menanggapinya dengan komentar bodoh
yang membuatku tertawa.
Mungkin
orang-orang tak pernah memperhatikan ini, hanya aku yang tahu. Dan mungkin,
hanya aku yang menyukai seorang Yusuf di sekolah kami.
Tiga
bulan pertama di kelas 11-ku benar-benar membosankan. Rani teman sebangku yang
baik namun ia tidak humoris seperti Yusuf. Aku rindu Yusuf! Bahkan ia sudah tak
bicara padaku tiga bulan ini, hanya menyapa dan bertanya padaku sesekali jika
perlu. Ah! Aku tak tahan!
Akhirnya
dengan sedikit nekat, aku mencuri nomor ponsel Yusuf dari ponsel Dika (yang
juga kuambil diam-diam). Kemudian tanpa basa-basi apapun, aku menghubunginya
malam itu juga.
‘Yusuf!
Ini Niki.’
Aku
memulai percakapan. 10 menit kemudian, aku mendapat balasan.
‘Niki
siapa?’
Aku
menghela nafas kesal.
‘Super
Deformed.’
‘Oh.
Ada apa?’
Aku
memukulkan bantal ke wajahku karena kesal dengan responnya.
‘Tak
apa. Apa besok ada tugas?’ ujarku basa-basi.
‘Tidak
tahu. Mengapa bertanya padaku? Kau kan tahu aku tidak pernah mengerjakan
tugas. Haha.’
Jawabnya. Yang satu ini membuatku agak senang dan lega karena ia tidak
menanyakan darimana aku mendapat nomor ponselnya. Kemudian, karena tak ingin
percakapan pertamaku berlalu dengan cepat, aku mulai bertanya hal lain.
‘Haha,
aku lupa dengan hal satu itu. Ngomong-ngomong, apa kau punya nomor ponsel
teman-teman sekelas kita?’
‘Tidak.
Kecuali Dika dan sekarang punyamu.’
Aku
bernafas lega karena berarti ia tak pernah berhubungan dengan cewek manapun di
kelas.
‘Apa
kau tidak tertarik dengan cewek di kelas kita?’
tanyaku gamblang. Hey, aku benar-benar penasaran! Lama ia tak membalasnya. Aku
mulai khawatir. Setengah jam kemudian, aku menerima balasan.
‘Maaf.
Pergi beli gula.’ Aku menghela nafas panjang
membacanya, entah kesal karena menunggu, entah lega karena ia masih membalas. ‘Kau bercanda.
Percuma aku menyukai mereka. Mungkin tak akan ada yang menyukaiku. Hahaha!’
Membacanya
begitu menyakitkan sekaligus melegakan. Batinku bicara lagi. Tapi aku suka Yusuf…
***
12 IPA 1
Aku menemukan biodata Yusuf yang seharusnya dikumpulkan pada guru kami pagi
ini. Biodata ini dibutuhkan untuk persiapan kami kuliah. Iya, tidak terasa tiga
tahun sudah berlalu. Mengejutkan bagaimana kita tumbuh begitu cepat, aku tak
pernah menyangka hal ini akhirnya datang padaku juga.
Aku menggerutu dalam hati menatap kertas yang tergeletak begitu saja itu. Payah, kalau hilang
dia bisa dimarahi! Tapi kemudian aku menemukan sesuatu yang menarik di
kertas lusuh itu, tanggal lahir Yusuf! Selama ini ia tidak pernah memberitahuku
–atau siapapun- mengenai tanggal lahirnya. Dan sekarang aku tahu! 27 Desember
jelas tertera di kertas itu. Aku terdiam sebentar. 27 Desember itu minggu
depan! Aku harus mempersiapkan hadiah! Ini tahun terakhirku bisa bertemu Yusuf!
Aku harus memberinya sesuatu, dan aku tahu apa itu…
***
Aku membeli kotak kado kecil di toko. Kemudian sesampainya di rumah, aku
membuka laci almariku dan mengeluarkan robot kecil berdebu dari dalam sana.
Super Deformed. Lalu kumasukkan robot kecil itu ke dalam kotak kado tadi. Aku
menatapnya dengan penuh kepuasan.
Aku selalu menunggu datangnya hari ini, hari yang tepat untuk memberikan Gundam
yang membuat Yusuf berbicara padaku hingga akhirnya membuatku menyukainya. Aku
menyimpan robot kecil ini baik-baik dan akhirnya bisa kuberikan juga. Senyum
puas menghiasi pipiku. Aku tak sabar memberikannya.
***
Pagi ini aku agak sedikit pusing, namun ini tanggal 27 Desember dan aku harus
pergi ke sekolah. Di gerbang sekolah tanpa diduga aku bertemu dengan Yusuf.
Kebetulan yang aneh. Kami pun berjalan bersama dari gerbang menuju kelas.
“Yusuf. Aku sudah tahu ulang tahunmu.” Ujarku dengan bangga padanya. Ia
terlihat tidak kaget. “Aku ingin memberimu hadiah.” Tambahku. Ia terdiam
sebentar.
“Silahkan.” Jawabnya datar. Tapi aku sudah biasa dengan sikapnya yang
menyebalkan itu.
“Tapi tidak sekarang. Aku belum siap.” Ujarku lagi. Dia cuma mengangkat
bahunya.
Pada jam istirahat, kondisi tubuhku memburuk. Akhirnya aku dibawa ke ruang
kesehatan. Namun saat bel tanda pulang berbunyi, aku buru-buru pergi. Aku harus
bertemu Yusuf! Ujarku dalam hati.
Aku masuk ke kelas dan Yusuf sudah tidak ada.
“Yusuf mana?” aku bertanya pada Dika yang nampak murung.
“Pulang. Tapi entahlah.” Jawabnya. Setelah mendengar jawaban Dika aku segera
mengambil hadiahku dan berlari keluar. Kulihat Yusuf sedang berjalan ke arahku
dengan langkah cepat dan wajah datarnya. Saat ia melintas, aku menarik
lengannya.
“Yusuf!” Teriakku semangat.
“Apa?!” Teriaknya padaku, namun jelas teriakkan yang berbeda.
“Apa?! Cepatlah!” ujarnya lagi karena aku belum melepaskan lengannya. Namun peganganku
mulai melonggar. Aku menyusut. Luruh seperti istana pasir yang terkena ombak.
“Tidak.” Ujarku cepat.
“Apa? Cepatlah. Ada apa?” Ujarnya lebih halus namun dengan wajah tetap datar.
Aku hampir menangis.
“Tidak. Pergilah. Sana pergi!” ujarku sambil mendorongnya. Lalu aku pergi
mendahuluinya.
Selamanya, aku tidak mau bertemu Yusuf lagi!
***
Belakangan aku tahu, Yusuf marah karena Dika menjahilinya. Aku juga tahu kalau
setelah itu mereka dengan mudahnya akur kembali. Namun walaupun sudah hamper
akhir semester, hatiku masih belum sembuh.
Bagaimana bisa dia membentakku saat aku ingin memberinya hadiah yang menurutku
paling berarti? Yang kusimpan berbulan-bulan untuk diberikan hanya padanya?
Barang kesayanganku. Barang yang mengingatkanku akan percakapan pertama kita.
Dan saat aku ingin memberikannya dia malah meneriakiku seperti orang bodoh. Aku
benci Yusuf!
Pada akhirnya, hadiah dariku masih terbungkus rapi dalam kotaknya. Tidak
tersentuh di dalam laci almariku.
***
Sudah hamper kelulusan. Dan sudah berbulan-bulan aku tak bicara pada Yusuf
begitu juga sebaliknya, sepertinya ia menyadari perubahan sikapku. Beberapa
minggu ini aku mulai befikir aku akan memaafkan Yusuf. Aku rindu dia, dan aku
tak bisa melupakannya.
Jadi hari ini aku membuka laci dan mengeluarkan hadiahku. Kuputuskan aku akan
memberikannya hari ini. Hari ini juga!
Pagi ini aku datang lebih awal, aku tahu Yusuf sering berangkat pagi ke
sekolah, jadi aku memutuskan untuk lebih pagi darinya. Aku menunggu di depan
pintu dan tak lama ia pun datang. Saat ia melintas, aku langsung menarik
tasnya.
“Ap…”
“Diam!” ujarku galak. Akupun memasukkan Gundam itu ke dalam tasnya.
“Maaf belakangan sikapku jahat.” Ujarku lirih. Ia berbalik padaku.
“Jahat? Apanya?” tanyanya. Aku tetap menunduk.
“Karena mendiamkanmu.” Ujarku lebih pelan lagi. Ada hening sesaat.
“Masa sih?” ujarnya. Aku terkesiap dan menatap wajahnya yang seolah sedang
mengingat apa yang telah aku perbuat. “Aku tidak merasakan apa-apa.”
Aku menatapnya tak percaya. Aku tak bicara padanya berbulan-bulan dan dia
menganggap hubungan kami baik? Yang benar saja!
“Kau ini bodoh atau apa?” ujarku kesal. Ia tertawa.
“Kau manis sekali kalau marah. Tapi maaf aku tidak peka. Tapi maksudmu apa
sih?” Ia kembali tertawa. Aku masih menatapnya tak percaya. Sesaat kemudian aku
juga tertawa.
“Bodoh.” Ujarku yang ditujukan pada diri sendiri, agak tersipu juga karena
disebut manis oleh orang yang kusuka.
“Apa?”
“Tidak,” jawabku. “Aku hanya merasa bodoh.” Kami terdiam beberapa detik.
“Makan yuk!” ujarku pada akhirnya.
“Ke kantin? Boleh. Aku juga belum sarapan.” Jawabnya. Aku tersenyum. Lalu
menggandeng tangannya dan menyeretnya pergi. Ia hampir terjatuh tapi aku terus
menariknya. Yasudahlah,
biar seperti ini saja. Aku tersenyum puas.