Beberapa waktu ini, kalau melihat orang beruntung, terutama yang tajir melintir, refleks otakku bertanya: "Bapaknya kerja apa ya?"
Bapaknya kerja apa, kok bisa keluar negeri tiap hari?
Bapaknya kerja apa, kok bisa makan enak setiap hari?
Bapaknya kerja apa, kok bisa masuk sekolah bagus?
Tiba-tiba pikiran itu melintir jadi, papaku kerjanya cuma tukang fotokopi, pekerjaan sebelumnya juga cuma buruh pabrik, pantas aja aku tidak bisa ini dan itu.
Kemudian kepelintir lagi. Apa harusnya aku tidak bersyukur dan menyalahkan papa?
Aku hampir aja jadi anak yang durhaka.
Papaku memang cuma tukang fotokopi, tapi beliau berhasil membangun rumah yang nyaman untuk kami tinggal, berhasil membelikan barang-barang yang aku mau, berhasil merayakan ulang tahunku setiap tahun dengan kado-kado kecil, berhasil membawaku ke gramedia untuk rekreasi, berhasil menyekolahkanku sampai S1 dan sekarang sudah bekerja dan mampu menghidupi diriku sendiri.
Papaku dulu cuma anak seorang tukang bajigur, rela merantau, jauh dari keluarga untuk mencapai mimpi besarnya agar bisa kerja kantoran, berusaha menamatkan kuliahnya padahal sudah ditinggal lama dan nilai hampir C semua, berusaha memahami Bahasa Indonesia padahal awalnya hanya bisa bahasa jawa.
Ia, sudah sangat berhasil dan sudah sangat berusaha agar aku bisa sejauh ini. Terima kasih ya, Pa. Aku akan lanjutkan perjuangan ini. Untuk aku, untuk papa, dan untuk masa depanku dengan orang-orang sekitarku.