Friday 3 May 2019

Nilai dari Sebuah Perbedaan

Berbeda.

Itu yang pertama aku rasakan diantara kami ketika mulai menjalin sebuah hubungan baru di semester 2. Ya, aku memang sedemikian buruk rupanya sampai tidak pernah mendapat pasangan selama bersekolah. Setidaknya pasangan yang 'nyata'.

Aku gadis yang biasa saja. Kehidupan rumah yang normal, sekolah dan nilai akademik normal (tidak bagus tapi tidak buruk juga), aku juga seperti anak gadis pada umumnya yang menikmati musik korea, punya idola, punya hobi membaca dan menonton film, punya geng yang berisikan perempuan-perempuan berisik, keuangan stabil, punya satu adik laki-laki menyebalkan dan sebagainya.

Hanya saja kehidupan asmaraku bisa dibilang payah. Di SMA aku termasuk golongan orang-orang payah di kelas. Tidak mau ikut perkumpulan atau hang out misalnya. Dan mungkin karena memang tidak ada yang menarik dari aku selain aku payah, laki-laki jadi lari dan tidak mau dekat-dekat denganku. Namun bukan berarti aku tidak punya teman laki-laki.

Hidupku bebas dan menyenangkan. Sampai aku terlibat beberapa uhuk hubungan virtual uhuk dengan beberapa laki-laki. Rasanya aneh setelah sekian lama merasa di tolak, ada yang menaruh perhatian padaku. Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang mereka lihat dari aku. Mungkin aku membuat mereka nyaman. Bukan mungkin sih, tapi pasti memang gara-gara itu. Karena aku merasa aku merupakan seorang pendengar yang baik dengan empati yang luar biasa. Tapi memang dasar saja laki-laki di dunia nyata hanya fokus pada fisik dan popularitas. Mencari perempuan cantik agar bisa panjat sosial (oke mungkin tidak semuanya, aku hanya ingin jadi sarkas saja). Sempat terbesit di otakku kalau aku tidak ingin menikah, karena aku pikir semua laki-laki pasti ada kekurangan yang tidak bisa aku terima. Dan aku tidak mau menerima kekurangan-kekurangan itu. Tidak tahu diri memang. Tapi memang itu isi pikiranku ketika itu.

Kemudian masuklah kehidupan kampus di usiaku yang menginjak 19. Setelah satu tahun vakum, rasanya exited sekali bisa menjalankan kehidupan seperti anak-anak seusiaku pada umumnya.

Semester 1 aku rajin, ambisius, ingin memiliki IP 4.00, mungkin karena aku ingin pembuktian pada diriku sendiri kalau satu tahun vakum harusnya membuat aku sudah layak bahkan lebih layak dari mahasiswa manapun yang menjalani perkuliahan. Semuanya terasa baru dan menyenangkan. Teman-temanku yang muda-muda itu pun menerimaku dengan baik. Satu hal yang aku pelajari tentang pertemanan di kehidupan kampus: mereka individual, cenderung lebih mudah berbaur walaupun kelompok2 kecil pasti tetap ada. Jadi kesimpulanku, orang-orang yang berhasil masuk kuliah memanglah orang-orang yang punya otak.

Kemudian semester 2, semuanya masih baik-baik saja sampai tiba-tiba ada kaum adam yang mencoba menarik perhatianku. Sebagai kentang sejati tentunya aku tidak percaya dia tertarik padaku. Lu liat apanya woy dari gua? Jadi kusingkirkan pikiran-pikiran hubungan kami akan berhasil, walaupun jujur aku pun sedikit demi sedikit mulai tertarik dan penasaran, dan sedikit genit juga uhuk. Usaha mah tetep.

Dan jder! Hubungan kami ternyata jalan. Aneh banget anjir.

Yang menyenangkan adalah dia seringkali membuktikan kalau dia serius berhubungan denganku. Dia bangga, dan aku tahu dari semua perbuatannya. Walaupun aku tetap saja sesekali minder karena hello! I'm in relationship now, with a guy! Bukan kaleng-kaleng dari sosmed.

Dan fakta menariknya lagi. Kita berdua adalah dua orang dengan kepribadian yang berkebalikan. Hitam dan Putih.

Dia adalah anak bandel yang sering terlambat datang ke kelas dan tidak mengerjakan tugas. Aku adalah anak rajin yang mengejar IPK tinggi. Dia perokok dan tukang nongkrong. Aku anak rumahan yang buta jalan dan tidak tahu segala-galanya. Dia punya badan yang bagus dan senyum menawan yang kemungkinan besar bisa menggaet perempuan manapun yang lebih baik dari aku. Sedangkan aku hanya perempuan badan triplek beruntung yang ditaksir olehnya.

Apasih sebenarnya yang dipikirkan laki-laki itu? Aish. Bikin repot saja.

Tapi anehnya. Semuanya berjalan lancar. Satu tahun lebih. Hebat. Aku mempertahankannya karena walaupun akademiknya buruk, dia tipe laki-laki yang patut dipertahankan. Dia seringkali membuat aku bangga. Tapi untuk dia, memangnya apa yang bisa dipertahankan dari perempuan rata dan pendek ini?

Alasannya mungkin sayang. Dan iya, aku menyayangi dia dan aku pun percaya dia sayang padaku. Ada momen ketika kami menangis karena membayangkan masa depan bersama-sama, dan dari sana aku tahu, dia tidak main-main.

Intinya, kami memang berbeda. Berkebalikan. Tidak sepaham. Tidak sama. Tidak sehobi. Tapi hubungan kami berhasil.

Kalau dia melakukan kesalahan, dia akan berusaha perbaiki dan akan mengomunikasikan semuanya padaku. Dia orang yang jujur walaupun kadang aku merasa dia melakukan white lie. Tapi dia tulus dan selalu punya niat yang baik. Dia mungkin agak dendaman, tapi sejak bersamaku, emosinya selalu ia usahakan untuk redam. Dia tekun pada hobinya dan punya prinsip sehingga punya acuan untuk bertingkah laku. Ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Dan aku juga selalu berusaha melakukan hal yang sama. Kadang proses saling meredam ego aku rasakan, dan kupikir inilah yang membuat hubungan kami terus jalan. Kami terus berkomunikasi dan berusaha sejujur mungkin juga selalu berusaha untuk memperbaiki diri. Setidaknya aku harap dia memikirkan hal yang sama dengan yang kuungkapkan disini.

Untuk yang membaca ini. Aku harap kalian punya hubungan yang baik pula dengan orang-orang di sekitar kalian. Komunikasi itu penting, dan jangan pernah lelah untuk mengomunikasikan semuanya secara jujur dan baik. Perbedaan itu tidak dapat dihindari dan kesempurnaan pada seseorang pun mustahil ada, tapi setidaknya, cobalah untuk saling memahami agar kita dapat hidup dengan sebaik-baiknya.[]