Sunday 28 February 2016

Untuk Kak Aditya

Hai kak! Perkenalkan, aku Mahda. Bagaimana kabar kakak sekarang?

Pertama kulihat nama kakak, aku pikir nama kakak bagus (ini sungguhan) mengingatkanku pada adik temanku yang kupikir tampan.

Awal-awal membuat surat, aku tidak peduli kakak siapa, yang aku pedulikan, kakak tukang posku dan aku akan menulis surat cinta yang dikirimkan pada kakak mulai saat itu. Tapi setelah beberapa hari, aku penasaran juga.

Dimulai dari stalk akun twitter kakak, tidak ada yang istimewa dimataku selain ternyata kakak termasuk orang yang melankolis (kupikir). Kemudian aku mencoba membuka akun instagram kakak. Ternyata kakak pria berambut pirang ya? Kakak pria yang cukup menarik.

Suatu hari juga, aku melihat akun twitter temanku yang juga menulis surat. Ia sering saling mention dengan tukang posnya. Aku pun mencoba mengakrabkan diri dengan kakak. Tapi nampaknya kakak tidak terlalu mau tahu. Hai kak, aku hanya ingin mengobrol sedikit, tapi bahkan kakak tidak membalas. Aku jadi agak sedih.

Tapi terakhir, aku ingin jadi orang yang tahu diri. Aku ingin berterima kasih pada kakak yang sudah menyampaikan surat-suratku ke pusat (apa boleh disebut begitu?) tolong sampaikan juga terima kasih karena telah melaksanakan event ini. Sangat membantu untuk mengungkapkan perasaanku. Sungguh terima kasih.

Untuk kakak sendiri, aku yakin kakak orang yang baik, tapi mungkin kelak, kakak bisa lebih ramah untuk membalas mention kami mungkin? Maaf jika aku berlebihan dan lancang, aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku. Aku mohon kak, aku benar-benar minta maaf ._.
Mungkin itu saja, salam sayang dariku dan sukses terus ya kak!



Tertanda, Aku
Salah satu penulis surat cinta di jasa posmu.






Bisa dilihat juga disini.

Tuesday 23 February 2016

Surat Untuk Papa

Kepada papa..

Sudah berapa tahun kita tinggal bersama, pa? 17 tahun ya? Menulis surat ini membuatku ingat akan dosa-dosa yang telah kuperbuat selama kita tinggal bersama. Karena seperti yang engkau tahu, aku anak tidak tahu diri.

Benar kata pepatah, seorang ayah adalah cinta pertama putrinya. Papa juga cinta pertamaku. Kebaikan papa melebihi pria manapun yang pernah kutemui.

Aku tahu papa sayang padaku. Papa suka membelikan kado tiap ulang tahunku, mencoba mencari apa yang aku suka, boneka gajah, permainan-permainan, atau bahkan hanya sekedar makanan-makanan kecil hanya demi memperhatikan kepedulianmu.

Papa sayang padaku. Papa lebih mementingkan aku daripada diri papa sendiri. Jika pergi berdua, papa akan memilih helm yang paling jelek dan memberikan aku helm yang bagus. Jika aku hendak berangkat sekolah di musim hujan, papa juga akan membiarkan aku memakai payung yang baru dan ia akan memakai yang lama untuk pergi bekerja.

Papa sayang padaku. Jika aku meminta sesuatu ia akan marah dan menganggap apa yang aku mau tidak penting. Tapi seminggu kemudian barang itu sudah akan ada di kamarku.

Papa sayang padaku. Jika aku berbuat salah dan dimarahi mama, ia akan mengeluarkan kata-kata lucu agar mama tenang dan aku bisa menjauh dari tangisan.

Papa sayang padaku. Aku akan dimarahinya dengan pelan-pelan agar tidak menyakiti hatiku. Mengusap kepalaku dengan penuh cinta sehingga tak bisa aku mengelak segala kata-katanya.
Papa sayang padaku. Aku akan memberikan segalanya untuk papa. Bahkan kebahagiaanku sendiri. Tapi maaf pa, aku belum bisa jadi anak yang baik dan membanggakanmu sepenuhnya. Tapi sungguh, aku sayang padamu.

Terima kasih atas semua hal yang telah engkau berikan. Sungguh, terima kasih.



Dari, aku
Anak perempuanmu.






bisa dibaca juga disini.

Monday 22 February 2016

Dibawah Pohon Palem

Kepada 5 teman kecilku, Riki, Sidik, Huda, Rani dan Dian..

Sejak aku bayi, aku diasuh oleh orang lain, bukan orang tuaku. Rumahku di RT 3 sedangkan aku dititipkan di RT 4, hal itu membuat aku tidak mengenal lingkungan rumahku sendiri.

Sisi baiknya, aku bertemu dengan kalian.

Aku mengenal kalian entah dari kapan. Aku mengenal kalian bahkan sebelum aku bisa berpikir dengan jelas. Yang aku tahu kita suka bermain bersama sejak dulu, sejak aku belum sekolah atau bahkan bisa mandi sendiri.

Permainan yang sering kita lakukan cukup bisa kuingat. Piknik-piknikan. Dimana kita hanya menggelar sebuah sapu tangan kecil di bawah pohon palem yang juga kecil. Kita hanya membawa jajanan kecil, mungkin hanya lima buah, tapi dulu, hal sederhana itu begitu menyenangkan. Sementara para wanita menyiapkan makanan, yang laki-laki sibuk melakukan lomba lari. Diantara mereka bertiga Sidik selalu menang.

Selain itu kita bermain ucing buaya. Dimana salah seorang akan mengejar kita dan sisanya berusaha mencapai tempat tinggi agar tidak tersentuh oleh si buaya. Saat berlari kita akan melakukan gerakan renang seolah-olah sedang berada dalam danau sungguhan. Aku sering menahan senyum jika mengingatnya. Konyol sekali.

Kemudian sisanya kita hanya berkumpul untuk sekedar membicarakan hal-hal sepele, membicarakan bintang (zodiak) tanpa tahu maksudnya, membicarakan jika kita memiliki elemen ("aku pilih elemen api!" "aku air!"), kemudian membuat mitos sendiri ("batu ini berbentuk penyihir, kalau pecah akan terjadi sesuatu yang buruk pada kita!") atau bahkan saling menjodohkan padahal pacaran saja tidak tahu.

Sidik menyukai Rani, cinta monyet. Kami sering menjodoh-jodohkan mereka. Pasti sampai sekarang mereka masih ingat. Sisanya kupikir menyukai Rani juga, dia gadis yang memiliki daya tarik tersendiri. Dian adalah kakak kelasku, kami beda tiga tahun. Dia suka orang lain selain di grup kami, mungkin seumuran dengannya. Aku sendiri gadis pemalu. Aku tak berani berbicara soal rasa suka waktu dulu. Aku bahkan lupa pernah menyukai siapa. Riki kalau tidak salah?

Disamping kegiatan kami yang liar, aku, Rani dan Dian memiliki girls time. Kami suka berkumpul untuk sekedar membicarakan film kartun yang kami tonton, kemudian menirukannya (terutama tokyo mew mew). Rani sebagai Ichigo karena suka warna pink, aku Minto karena suka warna biru dan Dian Ritsu karena suka warna hijau.

Karena menyukai hal-hal seperti itu kami juga sering membuat 'benda ajaib' kami sendiri. Kami menggunting dan mewarnai. Asik sekali. Kemudian kami membuat cerita kami sendiri. Benar-benar tak terlupakan. Kami juga suka menggambar bersama disamping semua itu. Kami cocok.

Semenyenangkan apapun kegiatan kami, pertemanan kami tetap memiliki masalah. Ya. Masalah sepele anak-anak polos yang belum mengerti demokrasi, musyawarah dan politik.

Kami terkadang saling menjauhi jika terjadi masalah kecil. Jika kupikirkan sekarang, bahkan aku tidak tahu masalahnya apa. Mungkin hanya karena salah satu dari kami diikat dua dan yang lainnya tidak atau hanya karena bisa membeli eskrim walls sementara yang lain hanya bisa membeli es lilin. Lucu. Tapi toh, kami tetap berteman lagi nantinya.

Ini bukan surat. Ini cerita aku tahu. Aku hanya ingin mengingat masa kecil kita yang indah. Kalian adalah teman masa kecilku yang tidak akan pernah kulupakan bahkan setelah 13 tahun berlalu dan pohon palem itu sekarang sudah tumbuh semakin tinggi.

Aku tahu kita sekarang tidak bisa berbincang seperti dulu bahkan hanya bertegur sapa pun sulit (karena pindah rumah, lingkungan sosial yang berbeda, gugup karena pubertas). Tapi kalian tetap sepotong dari masa kecilku yang tanpa kalian mungkin akan hampa.

Terima kasih.
Semoga kita bisa bahagia dengan lingkungan kita yang sekarang. Aku mendoakan.



Salam sayang, aku
Yang rindu akan masa kecil tanpa beban.

Friday 19 February 2016

Untuk Si Penggemar Miku

Hei, An,

Kapan kita kenal? Sudah cukup lama sepertinya. Berbulan yang lalu mungkin? Aku lupa.
Dipertemukan di sebuah room apakah hal yang istimewa? Kemudian lama-lama mulai berbincang. Kau biasa saja, seperti laki-laki pada umumnya. Bahasamu sama. (Well, apa sih yang aku tahu tentangmu selain caramu menulis pada chat?)

Tapi setelah itu dikemudian hari, aku sempat se-room lagi denganmu di room lain. Kau agak congkak karena lebih jago dariku. Kau juga bilang tak peduli dengan segala urusanku. Kemudian hari itu, aku benar-benar menganggapmu seorang yang menyebalkan. (Pasti kau tak ingat, hahaha).

Kemudian tiap aku masuk room, seperti yang lainnya, kau suka menyapaku, aku hargai itu dan hubungan kita pun biasa saja seperti yang lain juga, tidak ada yang istimewa.
Semuanya berubah sejak kau sering menggodaku.

"Aku sama mahda aja deh."
"Mahda mana?"
"Yah mahda pergi :'"

Tidak sampai disitu. Semua orang juga jadi menggoda kita. Reaksiku? Aku malu, kau tahu? Aku malu dan aku sangat senang. Pers*tan dengan perasaan ini, kau benar-benar cowok yang menyebalkan sekarang. Tahu tidak aku jadi lebih senang on malam hanya karena ingin bertemu denganmu? Aku bahkan tertawa-tawa tiap dini hari karena membaca pesan-pesan itu. Kau buat aku seperti orang gila, An. Padahal... Siapa sih kau?\

Kemudian aku mulai terbawa perasaan. Dengan lancang aku menuliskanmu dalam salah satu ceritaku: Diam, seperti yang selalu aku lakukan jika sedang jatuh cinta pada seseorang. Kau melihatnya, aku tidak tahu bagaimana, dan kau bilang kau juga berdebar. Aku tersenyum sambil berdebar mengetahui hal itu.

Kita belum pernah bertemu, aku tidak tahu kau siapa dan aku takut ini tak berhasil. Jadi, saat kau bilang 'suka', aku memang berdebar, tapi aku tidak bisa seperti, aku tidak mau. Mungkin ini karena trauma masa lalu pada cowok dunia maya yang sebelumnya pernah 'gagal' denganku. Entah berlebihan atau tidak, tapi memang seperti itu.

Hei, An.

Kita sudah jarang satu room lagi. Aku ingin seperti dulu. Bisa tidak? Aku...kangen. Kau sekarang jauh sekali rasanya. Aku takut kita 'berakhir' selagi waktu ini terus berlalu. Aku tidak mau.

Hei, An.

Tapi, maaf ya.. Entah aku naif atau tidak, rasanya aku tetap salah. Dan juga, terima kasih untuk semua perasaan berbunga-bunga itu. Itu membuatku senang selama beberapa waktu dan melupakan beberapa masalahku di dunia nyata. Sekali lagi, terima kasih.
Hanya itu, jaga dirimu ya!



Dari, aku

Thursday 18 February 2016

Cinta Pertama?

Kepada kamu, orang yang kuduga si cinta pertama...


Ingatan masa kecilku tentangmu begitu samar. Tapi anehnya ingatan itu tak pernah menghilang.

Kuingat dulu aku mengenal seorang anak laki-laki. Dia adalah anak dari teman kerja mama-ku, seorang wanita paruh baya berambut hitam sebahu dengan wajah ramah. Dan anak laki-lakinya  seperti laki-laki normal, dia berambut hitam, mempunyai dua mata dan dua lengan dan kupikir ia seusiaku. Kupanggil ia Ian.

Yang kuingat, saat itu usiaku masih sangat belia. Entah 4 tahun, entah 5 tahun aku tak ingat. Kita tak begitu sering bertemu karena tempat tinggal kita tidak berekatan. Tapi tentu saja, beberapa kali -dalam waktu yang singkat- itu kita bertemu.

Aku ingat saat kedua mama kita bertemu suatu kali. Aku berdiri disamping mama-ku dan kau dihadapanku, menggandeng lengan mama-mu. Berhadapan dengan-mu dan rambut poni-mangkok-mu juga senyuman lebar di wajahmu itu, aku tak bisa lupa. Kau manis sekali.

Kuingat pertemuan kita tak begitu banyak, mungkin bisa dihitung. Dan kuingat di suatu pertemuan orang tua lainnya, kau tak datang. Aku bertanya pada mama-ku.

"Ian mana?" yang kemudian pertanyaan itu di jawab oleh mama-mu.

"Ian-nya nggak mau datang." sambil tersenyum ramah ala seorang ibu pada anak-anak. Aku menunduk sedih mendengarnya. Dan yang kuingat, kita tak pernah bertemu lagi sejak itu.

Ingatanku tentang wajahmu begitu samar. Aku tak tahu bagaimana rupamu sebenarnya, atau bahkan usiamu. Aku memikirkanmu sesekali karena rindu akan masa kecil dan rindu akan senyum hangatmu itu. Aku sering bertanya-tanya sebenarnya siapa kau, karena bahkan aku tidak tahu nama lengkapmu. Ian. Ian siapa? Mungkinkah Fabian? Atau Ryan? Brian? Rayan? Bian? Aku sungguh tidak tahu dan perasaan ini begitu memuakkan. Hatiku terlalu dipenuhi oleh rindu dan tanda tanya.

Aku tidak ingat siapa laki-laki yang pertama kutemui atau bahkan kusukai, tapi setiap memikirkan itu, aku mengingatmu. Mungkinkah jika dulu aku telah menyukaimu? Mungkinkah aku bisa dibilang menyukaimu walaupun bahkan dulu aku belum mengerti apa itu perasaan suka? Mungkinkah kau cinta pertamaku? Aku tidak bisa menjawabnya.

Bertahun-tahun berlalu, aku tetap memikirkanmu sesekali. Aku juga pernah bertanya tentangmu pada mama-ku sekali di suatu malam, di kamar mama-ku. Kuingat lampunya remang, dan perasaanku tidak karuaan, kemudian jawaban yang aku dapat agak mengejutkan.

"Ian? Oh, Ian. Mama-nya udah meninggal. Dia lebih tua dari kamu kan? Kalo nggak salah dia anak band sekarang, rambutnya diwarnai."

Begitu?
Hanya itu yang aku dapat.
Aku tidak akan pernah bisa menemukanmu hanya dengan informasi itu.

Perlu kau tahu aku tidak takut jika bahkan kau lebih tua dariku, atau kau anak band dan rambutmu diwarnai bahkan jika kau seorang anak berandalan sekarang, aku tidak peduli! Yang aku tahu aku rindu dan sangat ingin bertemu.

Kumohon, kau dimana sekarang Ian?

Oh, aku begitu patah hati saat menulis surat ini. Aku hanya berharap surat ini bisa sampai padamu.



Dari aku,

Teman kecil yang mungkin tak kau ingat.

Monday 15 February 2016

Pertemuan Singkat dengan Laki-Laki Tasik

Di suatu siang di hari lebaran, matahari bersinar terang, angin tampak tenang dan suara jalan raya memekakan telinga. Aku menikmati siangku dengan menggoda salah satu keponakanku yang bertubuh gempal. Semuanya berlangsung biasa saja sampai kudengar ada ribut-ribut di luar rumah.

Rumah bibiku -yang sedang aku singgahi- memang dekat dengan jalan raya. Semua orang buru-buru keluar untuk melihat keadaan, sementara aku dengan cemas mengintip dari balik pintu kalau-kalau ada yang membutuhkanku untuk menolong.

Kemudian bibiku membawa seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang lebih kecil. Mereka sama-sama mengenakan jaket tebal. Kalau aku tidak salah, yang laki-laki memakai warna hitam dan si perempuan kecil memakai warna merah muda dengan bulu-bulu halus di bagian leher.

"Dari Tasik. Kecelakaan motor. Ayahnya luka parah, ibunya sedang membawa ke rumah sakit." ujar bibiku.  Aku menggangguk pura-pura mengerti meskipun penasaran mengapa orang tuanya nekat menaiki motor berempat saat arus kendaraan sedang padat-padatnya.

Aku melirik anak laki-laki itu beberapa kali. Tampaknya dia seumuran denganku, atau lebih muda? Ia mengenakan kacamata dan kulitnya bintik-bintik. Rambutnya agak ikal dan tampak lembab mungkin karena ia habis memakai helm.
Ia juga tertangkap melirikku sesekali. Membuatku agak salah tingkah dan jadi agak jaga image di depannya.

Tapi sisanya ia hanya duduk diam. Mungkin mengkhawatirkan keadaan orang tuanya. Aku jadi kasihan. Tapi untuk bertegur sapa pun aku tak berani. Aku pun diam.

Beberapa menit berlalu, tiba-tiba orang tuaku bilang aku harus segera pulang. Aku dengan terpaksa bangkit dan agak kecewa karena tidak bisa bersamanya lebih lama. Kami kembali saling melirik dalam diam.

Aku berjalan melewatinya sesopan mungkin. Gaun merahku bersentuhan dengan lantai karena aku membungkuk sedikit. Ia tak bergeming.
Tapi bahkan saat aku sudah mau naik kendaraanku, ia masih terlihat menatapku dan pasti ia pun berpikir kalau aku menatapnya.

Mobil melaju dan itu jadi pertemuan terakhir kami. Tapi... Jika itu takdir, mungkin tidak kita bisa bertemu lagi?

Friday 12 February 2016

Surat Lama

Semalam tiba-tiba aku memimpikanmu. Ada apa? Entahlah. Mungkin karena senyummu beberapa hari ini? Tapi aku jadi ingat surat yang kusimpan dulu, surat yang tak pernah terkirim padamu karena egoku. Boleh kusampaikan sekarang?

***

Untuk Dima...

Hai! Aku nggak tau harus mulai darimana, atau mungkin langsung aja?

Ehm. Gini...
Aku tau pertemuan pertama kita nggak istimewa sama sekali. Biasa aja! Bahkan nggak berkesan. Tapi belakangan aku selalu inget sama kejadian singkat itu."Kamu sebangku sama siapa?"
"Dima."
"Dima tuh yang mana?"
Terus, Hani nengokin muka kamu pake gaya yang tomboy. Aku nggak yakin kamu liatin aku apa nggak, tapi yang jelas aku lihat kamu dan kesan pertamanya tuh kaya:
"Oh, itu, biasa aja."

Beneran deh, gak berkesan sama sekali. Aku bahkan nggak pernah mikirin kamu lagi udah kejadian itu. Aku juga lupa kapan atau bulan apa kejadian itu terjadi, yang aku inget waktu itu kita udah kelas 11. Iya! Aku nggak pernah tau kamu yang mana biar kita udah tetanggaan 1 tahun juga. Aku percaya kamu juga pasti gitu sih.

Hari-hari selanjutnya aku habisin buat nge-gebet kakak kelas. Oke, bagian ini bisa dilewat karna gak asik. Aku juga beberapa kali naksir cowok lain. Dan tiba-tiba, entah ada angin apa, kamu masuk daftar itu.

Beneran deh, aku nggak pernah merhatiin kamu atau apalah, tau-tau 'Aku suka Dima' ada di kepala aku.

Puncak dari rasa 'suka' ini tuh pas diklat ekskul. Masa-masa pertama kita jadi pengurus. Aku mulai sering merhatiin kamu. Kamu yang sering jalan-jalan sendirian, yang bikin aku juga berani jalan-jalan sendiri biar malem-malem dengan harapan:
"Siapa tau kita lagi sama-sama jalan sendirian, terus papasan, terus ngobrol."
Iya, konyol banget, tapi emang itu yang aku pikirin. Senengnya aku kalau ngelihat kamu jalan sendiri juga bikin aku mikir:
"Siapa tau dia bisa jalan bareng aku."
Sumpah, kamu gak akan tau betapa 'menyenangkannya' mikirin hal itu.

Well, tapi apa coba yang aku terima dari khayalan-khayalan itu? Diabaikan.
Sakit loh, serius. Aku sempet mikir kalo kamu tuh ilfil ke aku. Apa bener?
Mungkin sikap aku ada yang aneh atau salah. Tapi perlu kamu tau, mungkin itu gara-gara aku yang salting soalnya deket sama kamu itu emang bikin grogi.
Bener-bener deh. Aku sering malu-maluin diri sendiri kalo lagi deket kamu.
Kamu perlu tau apa yang aku rasain kalo lagi deket kamu. Kalo dideskripsiin tuh kaya: gelisah, grogi, degdegan, gabisa gerak sepuasnya tapi seneng. Seneng banget!

Eh, aku nggak ada niat buat bikin surat ini jadi panjang. Gomenne...
Jadi.. uh.. aku cuma mau ngungkapin ini aja kok. Ini bukan nembak loh, ini cuma pernyataan, jadi jangan kasih jawaban apa-apa. Kalau mau komentar, komentar aja, tapi jangan jawab seolah aku baru nembak kamu. Gini-gini aku perempuan yang harga dirinya tinggi.
Uh, segitu aja.
Bahagia terus ya!
Dari aku yang kamu tau siapa...